Jakarta - Pemerintah akan membatasi penerimaan pegawai negeri sipil (PNS) di masa mendatang. Hal itu dilakukan karena ada pemda yang menggunakan 70 persen dana APBD untuk gaji pegawai.
"Dana untuk APBD itu memang ada yang digunakan untuk belanja pegawai, sehingga kita akan batasi penerimaan PNS di tahun mendatang," kata Menteri Koordinator bidang Perekonomian Hatta Rajasa di kantor Kementerian Perekonomian Jakarta, Senin (17/12/2012).
Menurut Hatta, pemerintah ke depan akan selektif dalam menerima PNS. Pemerintah juga tidak menginginkan bila ada pemerintah daerah yang harus menambah pegawai saat ada penggantian kepala daerah.
Kondisi ini hanya dianggap sebagai pemborosan belanja pemerintah daerah. Padahal, Hatta ingin pemerintah daerah menggunakan dana APBD-nya untuk infrastruktur.
"Dana APBD itu untuk infrastruktur, harus public service. Nantinya, jangan sampai ganti pejabat, terus nambah pegawai lagi," tuturnya.
Di tempat yang sama, Menteri Keuangan Agus Martowardojo menjelaskan akan membatasi besaran dana APBD untuk belanja pegawai. "Itu (70 persen) memang cukup besar. Agar kualitas APBD lebih baik, tentu kita harapkan biaya pegawai di APBD tidak lebih dari 50 persen," kata Agus.
Kendati demikian, pihaknya memang tidak bisa secara langsung membatasi APBD untuk belanja pegawai. Jika ingin dibatasi, maka pemerintah harus membuat kebijakan yang harus dikoordinasikan dengan badan legislatif dan eksekutif di daerah. Hal ini dilakukan agar belanja pegawai di APBD tidak lebih dari 50 persen bisa dicapai.
Sekadar catatan, dari 302 daerah, peningkatan APBD habis 50 persen untuk belanja pegawai, sehingga pembangunan infrastruktur terhambat. "Bahkan, di 11 daerah di antaranya, belanja pegawai mencapai 70 persen. Ini disebabkan tidak adanya pengaturan besaran tunjangan kesejahteraan daerah," ujar Koordinator Riset Seknas FITRA Maulana dalam catatan akhir tahun di Jakarta, Minggu (16/12/2012).
Menurut Maulana, anggaran yang begitu besar untuk belanja pegawai semakin memperkuat bahwa postur birokrasi semakin gemuk. Kendati begitu, fakta di lapangan, pelayanan birokrasi dan pembangunan infrastuktur, jauh dari capaian yang selama ini didambakan masyarakat.
Parahnya lagi, anggaran besar itu tak menyentuh masyarakat, lantaran birokrasi selalu menumpuk anggaran di akhir tahun. Tak pelak, untuk menghabiskan anggaran, pemerintah daerah dan pusat kerap menghamburkannya lewat iklan layanan masyarakat.
"Akibat anggaran yang menumpuk di akhir tahun, membuat kualitas belanja menjadi buruk. Kementerian atau lembaga pada akhirnya hanya berorientasi menghabiskan anggaran tanpa melihat capaian kinerjanya," papar Maulana.
Dari 11 kabupaten/kota yang menghabiskan 70 persen lebih APBD-nya untuk belanja pegawai, termasuk gaji dan pekerja honorer adalah Kota Langsa sebanyak 77 persen, Kabupaten Kuningan (74), Kota Ambon (73), Kabupaten Ngawi (73). Lalu, Kabupaten Bantul (72), Kabupaten Bireun (72), Kabupaten Klaten (72), Kabupaten Aceh Barat (71), Kota Gorontalo (70,3), Kabupaten Karanganyar (70,1), dan Kota Padangsidempuan (70). (kompas)
"Dana untuk APBD itu memang ada yang digunakan untuk belanja pegawai, sehingga kita akan batasi penerimaan PNS di tahun mendatang," kata Menteri Koordinator bidang Perekonomian Hatta Rajasa di kantor Kementerian Perekonomian Jakarta, Senin (17/12/2012).
Menurut Hatta, pemerintah ke depan akan selektif dalam menerima PNS. Pemerintah juga tidak menginginkan bila ada pemerintah daerah yang harus menambah pegawai saat ada penggantian kepala daerah.
Kondisi ini hanya dianggap sebagai pemborosan belanja pemerintah daerah. Padahal, Hatta ingin pemerintah daerah menggunakan dana APBD-nya untuk infrastruktur.
"Dana APBD itu untuk infrastruktur, harus public service. Nantinya, jangan sampai ganti pejabat, terus nambah pegawai lagi," tuturnya.
Di tempat yang sama, Menteri Keuangan Agus Martowardojo menjelaskan akan membatasi besaran dana APBD untuk belanja pegawai. "Itu (70 persen) memang cukup besar. Agar kualitas APBD lebih baik, tentu kita harapkan biaya pegawai di APBD tidak lebih dari 50 persen," kata Agus.
Kendati demikian, pihaknya memang tidak bisa secara langsung membatasi APBD untuk belanja pegawai. Jika ingin dibatasi, maka pemerintah harus membuat kebijakan yang harus dikoordinasikan dengan badan legislatif dan eksekutif di daerah. Hal ini dilakukan agar belanja pegawai di APBD tidak lebih dari 50 persen bisa dicapai.
Sekadar catatan, dari 302 daerah, peningkatan APBD habis 50 persen untuk belanja pegawai, sehingga pembangunan infrastruktur terhambat. "Bahkan, di 11 daerah di antaranya, belanja pegawai mencapai 70 persen. Ini disebabkan tidak adanya pengaturan besaran tunjangan kesejahteraan daerah," ujar Koordinator Riset Seknas FITRA Maulana dalam catatan akhir tahun di Jakarta, Minggu (16/12/2012).
Menurut Maulana, anggaran yang begitu besar untuk belanja pegawai semakin memperkuat bahwa postur birokrasi semakin gemuk. Kendati begitu, fakta di lapangan, pelayanan birokrasi dan pembangunan infrastuktur, jauh dari capaian yang selama ini didambakan masyarakat.
Parahnya lagi, anggaran besar itu tak menyentuh masyarakat, lantaran birokrasi selalu menumpuk anggaran di akhir tahun. Tak pelak, untuk menghabiskan anggaran, pemerintah daerah dan pusat kerap menghamburkannya lewat iklan layanan masyarakat.
"Akibat anggaran yang menumpuk di akhir tahun, membuat kualitas belanja menjadi buruk. Kementerian atau lembaga pada akhirnya hanya berorientasi menghabiskan anggaran tanpa melihat capaian kinerjanya," papar Maulana.
Dari 11 kabupaten/kota yang menghabiskan 70 persen lebih APBD-nya untuk belanja pegawai, termasuk gaji dan pekerja honorer adalah Kota Langsa sebanyak 77 persen, Kabupaten Kuningan (74), Kota Ambon (73), Kabupaten Ngawi (73). Lalu, Kabupaten Bantul (72), Kabupaten Bireun (72), Kabupaten Klaten (72), Kabupaten Aceh Barat (71), Kota Gorontalo (70,3), Kabupaten Karanganyar (70,1), dan Kota Padangsidempuan (70). (kompas)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar